Pendiri Google Berani Tuduh PBB
- Russian Today
Digital, VIVA - Salah satu pendiri Google Sergey Brin menuduh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB anti Yahudi.
Penyebabnya karena laporan dari Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) organisasi itu menuding raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) itu meraup keuntungan besar dari 'genosida' Israel terhadap Palestina di Jalur Gaza.
Tanggapannya muncul setelah publikasi terbaru oleh Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk wilayah Palestina yang diduduki, yang mengklaim bahwa Google dan perusahaan induknya, Alphabet, telah menyediakan perangkat komputasi awan (cloud computing) dan kecerdasan buatan (AI) kepada IDF (Pasukan Pertahanan Israel) selama operasi militer di Jalur Gaza – tindakan yang digambarkan dalam laporan tersebut sebagai "genosida yang dilakukan oleh Israel."
"Dengan segala hormat, menggunakan istilah genosida dalam kaitannya dengan Jalur Gaza sangat menyinggung banyak orang Yahudi yang telah mengalami genosida sungguhan," kata Sergey Brin, yang juga seorang Yahudi. "Saya juga akan berhati-hati mengutip organisasi yang jelas-jelas anti Yahudi seperti PBB dalam kaitannya dengan isu-isu ini."
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 57 ribu warga Palestina, sebagian besar warga sipil, telah tewas selama operasi militer Israel terhadap kelompok militan tersebut.
Francesca Albanese telah berulang kali menyebut kampanye Israel sebagai "genosida."
Misi AS di PBB telah mendesak pemecatannya, menuduhnya anti-Semitisme dan bias, seperti dikutip dari situs Russian Today, Sabtu, 12 Juli 2025.
Pernyataan dari kantor Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mencatat bahwa pelapor beroperasi secara independen dan ditunjuk oleh Dewan HAM.
Sergey Brin, lahir di Moskow, Rusia pada 1973, berimigrasi ke AS bersama keluarganya pada usia enam tahun.
Ia dan rekan pendiri Google, Larry Page, mundur dari operasional sehari-hari perusahaan pada 2019, meskipun miliarder tersebut telah kembali terlibat dalam pengembangan AI.
Google memperluas dukungan AI untuk militer Israel setelah serangan Hamas pada Oktober 2023.
Perusahaan tersebut dan Amazon sebelumnya telah mendapatkan kontrak cloud senilai US$1,2 miliar dengan pemerintah Israel melalui Proyek Nimbus.
Google telah menghadapi kritik yang semakin meningkat atas perannya dalam konflik tersebut.
Pada Februari 2025, Google menghapus janji dari pedoman AI miliknya untuk tidak mengembangkan alat untuk senjata atau pengawasan.
Google juga menghadapi pengawasan atas dugaan bias politik. Pejabat Rusia menuduhnya melakukan diskriminasi terhadap media pemerintah dan membatasi akses pengguna.
Sejak eskalasi konflik Ukraina pada Februari 2022, raksasa teknologi yang berbasis di AS tersebut telah membatasi alat monetisasi untuk entitas yang terkait dengan Rusia dan menangguhkan pembayaran kepada pengembang aplikasi dengan rekening bank milik negara kelahiran Sergey Brin itu.