Petani Milenial Sulap Lahan Jadi Ladang Cuan Berkat Teknologi
Digital, VIVA - Pada 2010, seorang pemuda berusia 20 tahun memilih jalur yang berbeda dari teman-temannya.
Obur Bahtiar memilih bertahan di desa menjadi petani sayuran seperti yang ditekuni orangtuanya. Padahal, bagi sebagian besar generasi muda di Indonesia, pertanian bukan lagi pekerjaan utama yang diidamkan.
Namun, bagi Obur Bahtiar menjadi petani memiliki daya tarik kuat karena peluang ekonomi yang besar dan tradisi keluarga.
“Alasan utama saya memilih profesi petani karena melihat adanya potensi keuntungan ekonomi yang bisa saya dapatkan," kata pria, yang tinggal di Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Apalagi, lanjut Obur, dengan dukungan sumber daya alam (SDA) di wilayah tempat tinggalnya dan latar belakang keluarga yang juga berasal dari petani. Pada awal menjadi petani, ia hanya mengelola lahan sekitar 1.000 meter persegi.
Kini, luas lahan tanaman sayurnya telah mencapai 10.000 meter persegi atau satu hektare — hasil dari kombinasi pembelian dari hasil panen, sewa tanah dan lahan warisan keluarga. "Waktu itu saya menanam cabai, tomat, mentimun, dan buncis," kenang Obur.
Ambisinya tidak berhenti di situ. Ia bermimpi memperluas lahan seluas-luasnya agar panen meningkat, mampu menarik minat anak-anak muda di desanya untuk terjun di pertanian dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar sehingga terjadi regenerasi petani.
Petani milenial.
- Dok. Ewindo
Data sensus pertanian terbaru memang menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan terkait regenerasi petani. Betapa tidak, sektor pertanian saat ini semakin didominasi oleh tenaga kerja lanjut usia.
Generasi X (43–58 tahun) menyumbang 42,4 persen petani, diikuti Baby Boomers (59–77 tahun) sebesar 27,6 persen. Sementara itu, petani milenial (usia 27–42 tahun) hanya sebesar 25,6 persen dan Gen Z (usia 11–26 tahun) bahkan hampir tidak ada: hanya 2,1 persen. Hal ini memperjelas adanya kesenjangan besar dalam regenerasi.
Kondisi tersebut juga tergambar dari penurunan jumlah unit usaha pertanian sebesar 7,4 persen selama satu dekade terakhir. Jika pada 2013 jumlah unit usaha pertanian masih sekitar 31,7 juta unit maka di 2023 jumlahnya turun menjadi 29,36 juta unit.
Penurunan ini sebagian dipengaruhi oleh alih guna lahan sawah menjadi non-pertanian seperti perumahan dan infrastruktur.
Fenomena lainnya, petani yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektare, jumlahnya meningkat tajam menjadi 16,89 juta orang pada 2023. Kecilnya skala usaha menambah tantangan produktivitas dan kesejahteraan.
Namun, bagi Obur Bahtiar regenerasi petani bukan sekadar impian. Dorongan dari orangtua, didukung benih sayuran berkualitas dan jaringan sesama petani membantunya berhasil dalam menghadapi tantangan teknis dan bisnis.
Melalui dukungan-dukungan tersebut dia membuat strategi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim melalui informasi dan teknologi, perluasan jejaring pemasaran, dan pengelolaan keuangan yang bijak.
Garis besar strategi inilah yang bisa mengubah paradigma bahwa pertanian bukan hanya soal warisan, tapi usaha profesional yang menjanjikan. Obur Bahtiar bahkan bercita-cita mendirikan sekolah lapang pertanian, sebagai tempat mewariskan ilmu dan meningkatkan kapasitas petani muda lain.
Ia juga aktif mengajak generasi muda melalui konten digital dan edukasi langsung tentang kehidupan di lahan. “Kalau anak-anak saya ingin jadi petani, saya ingin mereka punya pendidikan tinggi dan menjadi agripreneur,” ujarnya tegas.
Tidak hanya di Garut, Jawa Barat, PT East West Seed Indonesia (Ewindo) sebagai penyedia benih sayuran unggul berkualitas, secara berkelanjutan membina petani-petani milenial di berbagai daerah, khususnya sentra-sentra pertanian sayuran.
Melalui Program Petani Muda Panah Merah, telah lahir banyak petani milenial sukses seperti di Lampung yang berhasil budidaya cabai dan Medan, Sumatra Utara dengan komoditas melon. Namun, agar mimpi regenerasi itu nyata, diperlukan sinergi dari para pemangku kepentingan termasuk akses modal, alih teknologi, dan dukungan pasar.