Ternyata Perempuan 20% Lebih Jarang Gunakan AI, Apa Penyebabnya?

Ilustrasi main laptop
Sumber :
  • Freepik

DigitalKecerdasan buatan (AI) semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Dari membantu pekerjaan kantor, mendukung pembelajaran, hingga mempermudah komunikasi lintas negara, teknologi ini menghadirkan banyak manfaat. Namun, ternyata tidak semua orang merasakan dampak yang sama.

Sebuah riset terbaru yang dilaporkan The Wall Street Journal yang dilansir dari Tom’s Guide menemukan adanya kesenjangan gender dalam penggunaan AI. Studi yang dilakukan oleh tim dari Haas School of Business menganalisis 18 penelitian dengan lebih dari 140.000 responden di berbagai negara. Hasilnya, perempuan tercatat 22% lebih jarang menggunakan alat AI generatif dibandingkan laki-laki.

Mengapa Perempuan Lebih Jarang Gunakan AI?

Para peneliti menemukan beberapa faktor utama yang menjelaskan kesenjangan ini:

1. Persepsi dan pemasaran AI

Banyak aplikasi AI dipasarkan untuk “power users” atau pengguna teknologi tingkat lanjut, yang umumnya lebih banyak laki-laki. Hal ini membuat AI terasa kurang relevan atau tidak ramah bagi sebagian perempuan.

2. Eksposur di tempat kerja

Laki-laki lebih sering bekerja di bidang yang erat dengan teknologi, seperti IT, data science, atau rekayasa perangkat lunak. Di sektor ini, eksperimen dengan AI sangat didorong, sehingga mereka otomatis menjadi pengguna awal.

3. Rasa skeptis dan isu keamanan

Survei menunjukkan perempuan lebih berhati-hati terhadap risiko AI, mulai dari privasi, bias algoritma, hingga potensi penyebaran informasi palsu. Kekhawatiran ini bisa menjadi alasan mengapa tingkat adopsinya lebih rendah.

Fenomena ini bukan hal baru. Saat komputer pribadi dan internet pertama kali diperkenalkan, pengguna laki-laki juga jauh lebih dominan sebelum akhirnya angka penggunaan lebih merata.

Data Global yang Menguatkan

Menurut laporan UNESCO dan World Economic Forum, perempuan hanya mengisi sekitar 20% posisi di bidang AI dan data science secara global. Di Amerika Serikat, data Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan perempuan hanya memegang 26–28% pekerjaan di bidang komputasi dan matematika, bahkan lebih rendah lagi di teknik, hanya sekitar 17%.

Karena laki-laki lebih terkonsentrasi di bidang yang sedang gencar menguji teknologi AI, mereka lebih cepat terbiasa. Sementara itu, perempuan lebih banyak berada di sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi, yang adopsi AI-nya relatif lebih lambat.

Mengapa Kesenjangan Ini Bisa Ditutup?

Sejarah menunjukkan bahwa perempuan mampu mengejar ketertinggalan dalam adopsi teknologi begitu perangkat menjadi lebih mudah diakses, ramah pengguna, dan jelas manfaatnya. Hal ini pernah terjadi pada pemakaian komputer, ponsel, hingga media sosial.

Saat ini, fitur AI sudah mulai terintegrasi ke dalam aplikasi sehari-hari seperti Microsoft Office, Google Workspace, hingga aplikasi smartphone. Dengan begitu, AI akan semakin sulit dihindari, baik di pekerjaan maupun kehidupan pribadi.

Selain itu, penggunaan AI sudah meluas ke berbagai profesi non-teknologi, misalnya desainer grafis, arsitek interior, bahkan content creator. Ini membuka jalan bagi lebih banyak perempuan untuk ikut serta.

Dampak Kesenjangan Gender dalam AI

Jika perempuan terus tertinggal dalam penggunaan AI, ada risiko terjadinya ketidaksetaraan baru, seperti:

  • Laki-laki lebih cepat mendapat keuntungan produktivitas di tempat kerja.
  • Perbedaan kesempatan dalam membangun bisnis atau pekerjaan sampingan berbasis AI.
  • Representasi yang timpang dalam membentuk masa depan teknologi AI, karena pengalaman dan kebutuhan perempuan kurang terwakili.

Cara Perempuan (dan Semua Orang) Bisa Mulai Gunakan AI

Bagi yang masih ragu mencoba AI, ada beberapa cara sederhana dan praktis untuk memulainya:

  • Meningkatkan produktivitas kerja: Gunakan ChatGPT atau Gemini untuk menulis email, meringkas laporan panjang, atau membuat agenda rapat.
  • Mengatur kehidupan sehari-hari: AI bisa membantu merencanakan menu makanan, menyusun jadwal olahraga, hingga membuat itinerary liburan.
  • Belajar keterampilan baru: AI bisa dijadikan partner belajar bahasa, meningkatkan skill tertentu, atau mencoba ide menulis kreatif.
  • Eksperimen kreatif: Coba generator gambar atau video untuk proyek sederhana seperti undangan pesta atau konsep bisnis kecil.

Kesenjangan gender dalam penggunaan AI memang nyata, tetapi bukan sesuatu yang permanen. Semakin teknologi ini menyatu dalam kehidupan sehari-hari, kesenjangan tersebut kemungkinan besar akan menyempit.