Dibekali Sistem Cerdas dan Mesin Modern, Mengapa Boeing 787-8 Dreamliner Masih Bisa Jatuh?
- airline-suppliers.com
Digital, VIVA – Kecanggihan teknologi tak selalu menjamin keselamatan. Itulah pelajaran pahit yang kembali mengemuka setelah pesawat Boeing 787-8 Dreamliner milik Air India jatuh di Ahmedabad, India, Kamis 12 Juni 2025.
Insiden tragis ini menewaskan puluhan orang dan menjadi kecelakaan fatal pertama dalam sejarah pengoperasian 787-8 sejak debutnya pada 2011.
Pesawat dengan nomor penerbangan AI171 itu jatuh hanya beberapa menit setelah lepas landas menuju London, dan langsung menghantam kawasan padat penduduk.
Sinyal darurat “Mayday” sempat dikirimkan pilot, namun diduga tidak direspons tepat waktu oleh pengendali lalu lintas udara. Api besar dan asap hitam membumbung tinggi dari lokasi kejadian, memicu kepanikan luas.
Tragedi ini mengejutkan banyak pihak, karena Dreamliner dikenal sebagai salah satu pesawat penumpang paling canggih di dunia.
Maka pertanyaannya: bagaimana mungkin pesawat dengan teknologi tercanggih bisa mengalami kecelakaan seperti ini?
Dirancang Jadi Pesawat Super Canggih
Sejak diperkenalkan, Boeing 787 Dreamliner disebut-sebut sebagai lompatan besar dalam teknologi penerbangan sipil. Struktur utamanya menggunakan bahan komposit serat karbon, menjadikannya lebih ringan dan lebih tahan korosi dibanding aluminium.
Hal ini membuat konsumsi bahan bakarnya 25 persen lebih hemat daripada pesawat pendahulunya seperti Boeing 767.
Tak hanya itu, sistem kontrol penerbangannya berbasis fly-by-wire, yaitu kendali terkomputerisasi yang menggantikan kabel mekanik. Dreamliner juga dibekali dengan ratusan sensor digital dan perangkat lunak avionik canggih yang memungkinkan autopilot bekerja presisi dalam berbagai kondisi.
Menurut Boeing, 787-8 bahkan dapat terus mengumpulkan dan mengirimkan data operasional secara real-time ke pusat pemantauan maskapai melalui sistem Aircraft Health Management (AHM). Teknologi ini dirancang untuk mendeteksi potensi masalah bahkan sebelum terjadi kerusakan fatal.
“Dreamliner adalah salah satu pesawat dengan sistem monitoring dan prediksi kerusakan terbaik di kelasnya,” ujar analis penerbangan senior David Noland seperti dikutip dari Popular Mechanics.
Autopilot dan AI di Balik Kokpit
Banyak bagian dari penerbangan Boeing 787 saat ini dikendalikan oleh sistem otomatis, mulai dari take-off assist, cruise, hingga auto-landing. Sistem ini bekerja berdasarkan data yang dikumpulkan oleh sensor dan algoritma berbasis AI (Artificial Intelligence), yang disempurnakan melalui ratusan juta jam terbang data pesawat.
Namun di sisi lain, otonomi tinggi juga memunculkan risiko baru. Jika ada kesalahan input, gangguan sensor, atau ketidaksesuaian data yang tidak segera dikoreksi oleh pilot, sistem otomatis justru bisa menambah bahaya.
Hal ini pernah menjadi sorotan dalam insiden Boeing 737 MAX pada 2018–2019 yang melibatkan sistem MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System).
Meski Boeing 787 tidak menggunakan MCAS, pertanyaan serupa kini muncul: apakah teknologi dalam Dreamliner benar-benar bebas celah?
Investigasi Fokus pada Sistem dan Sensor
Pemerintah India bersama tim teknis Boeing telah menemukan Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR) dari puing pesawat. Dua kotak hitam ini kini menjadi kunci utama untuk menjawab teka-teki mengapa pesawat dengan rekam jejak keselamatan nyaris sempurna bisa jatuh dalam hitungan menit setelah lepas landas.
Menurut laporan dari BBC, penyelidikan akan fokus pada:
Potensi kegagalan sistem navigasi atau mesin (GEnx-1B/Trent 1000)
Ketidaksesuaian data sensor (misal tekanan kabin, suhu, bahan bakar)
Gangguan komunikasi atau respons dari menara kontrol
Kemungkinan human error akibat kepercayaan berlebih pada sistem otomatis
Seorang pejabat dari Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil India (DGCA) mengatakan bahwa seluruh data akan diuji untuk mengetahui apakah sistem deteksi dan mitigasi gagal berfungsi sebagaimana mestinya.
Dreamliner: Reputasi yang Dipertaruhkan
Sejak diperkenalkan, Boeing 787 telah mengangkut lebih dari 1 miliar penumpang, menjadikannya pesawat wide-body tercepat yang mencapai angka tersebut. Tiga variannya — 787-8, 787-9, dan 787-10. dioperasikan oleh maskapai dari seluruh dunia karena efisiensinya dalam rute jarak jauh dan biaya operasional rendah.
Bahkan di dalam kabin, Dreamliner menawarkan teknologi yang tak ditemukan di pesawat lain: sistem tekanan udara rendah untuk mengurangi jet lag, jendela besar dengan teknologi electrochromic, dan pencahayaan LED adaptif.
Namun, tragedi ini menjadi pengingat bahwa kompleksitas teknologi bisa menciptakan blind spot, terutama jika tidak diimbangi dengan manajemen risiko dan pelatihan pilot yang mumpuni terhadap sistem digital.
Perlu Evaluasi Menyeluruh
Insiden jatuhnya Air India AI171 tidak hanya memunculkan duka, tapi juga mendesak adanya evaluasi serius terhadap teknologi dalam industri penerbangan modern. Apakah sistem AI, sensor, dan autopilot sudah benar-benar matang untuk menggantikan insting manusia di kokpit?
Sampai hasil investigasi dirilis, dunia menunggu jawaban dari salah satu tragedi paling mengejutkan di era pesawat canggih ini. Jika bahkan pesawat secerdas Dreamliner bisa jatuh, maka dunia perlu bertanya ulang: di mana batas aman antara manusia dan mesin dalam dunia penerbangan?