Fenomena di Balik Lebih Pilih HP Flagship Bekas oleh Konsumen Bujet Menengah Berdasarkan Psikologi
Digital, VIVA – Banyak orang dengan bujet pas-pasan atau menengah justru memilih membeli HP flagship bekas seperti iPhone atau Samsung Galaxy seri S, dibandingkan membeli HP kelas menengah terbaru.
Fenomena ini menarik dilihat dari sisi psikologi konsumen, karena pilihan tersebut tidak hanya soal fitur, tetapi juga menyentuh aspek citra diri, kepuasan emosional, hingga persepsi sosial.
Di berbagai forum dan media sosial, sering terlihat orang lebih memilih iPhone seri lama atau Samsung Galaxy S bekas ketimbang HP baru dengan harga setara dari merek lain.
Padahal, dari sisi umur dan garansi, HP flagship bekas tentu punya risiko yang lebih besar. Namun, keputusan ini ternyata bukan tanpa alasan.
1. Faktor Gengsi dan Persepsi Sosial
Salah satu alasan utama dari keputusan ini berkaitan dengan prestige. Beberapa psikolog konsumen menjelaskan bahwa produk flagship, meski bekas, tetap memiliki nilai simbolik yang tinggi di mata masyarakat. HP flagship diasosiasikan dengan status, keberhasilan, dan gaya hidup modern.
Dalam laporan dari Journal of Consumer Research, disebutkan bahwa konsumen kelas menengah cenderung mengalokasikan dana untuk membeli barang yang meningkatkan citra sosial mereka.
HP flagship, terutama iPhone, sudah lama menjadi simbol status. Bahkan, produk bekasnya masih mampu mencerminkan kelas sosial tertentu yang dianggap “lebih tinggi” dibanding pengguna HP baru di kelas menengah.
2. Pengalaman Premium dan Kepuasan Emosional
Faktor lain adalah pengalaman penggunaan yang dianggap lebih memuaskan. Meski bekas, HP flagship biasanya masih unggul dalam hal kualitas layar, kamera, performa prosesor, serta build quality.
Banyak pengguna merasakan sensasi berbeda saat menggunakan flagship, yang tidak bisa didapat dari HP kelas menengah.
Beberapa psikolog teknologi menyebut fenomena ini sebagai emotional consumption, di mana pengguna membeli barang bukan hanya untuk fungsi, tetapi juga untuk memberikan rasa puas, bangga, atau senang. Dengan membeli HP flagship, mereka merasa sedang "meng-upgrade" diri secara emosional.
3. Rasionalisasi Fitur: 'Lebih Lengkap dan Future-Proof'
Dari sisi rasional, HP flagship memang biasanya dilengkapi dengan fitur lebih lengkap dan tahan untuk jangka waktu lebih lama. Beberapa pakar teknologi menilai, flagship meski bekas masih lebih future-proof dibanding HP baru kelas menengah.
Pengguna tak perlu khawatir soal performa lemot, update sistem operasi, atau hasil kamera yang mengecewakan.
Salah satu pakar teknologi menyebut bahwa flagship 2–3 tahun lalu masih bisa mengungguli HP mid-range terbaru dalam hal performa gaming, multitasking, dan kualitas fotografi. Ini menjadi pertimbangan logis bagi konsumen yang ingin memakai HP dalam jangka panjang.
4. FOMO dan Tekanan Lingkungan Sosial
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga menjadi faktor psikologis lainnya. Tekanan dari media sosial, teman sebaya, atau lingkungan kerja membuat seseorang merasa harus “ikut tren”.
Dalam kasus ini, memiliki iPhone atau Galaxy S menjadi salah satu cara agar tetap relevan dan “tidak ketinggalan zaman”.
Penelitian dari American Psychological Association pernah mengungkap bahwa FOMO dapat mendorong perilaku konsumsi impulsif, termasuk dalam pembelian gadget yang sebetulnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi keuangan pribadi.
5. Mengabaikan Risiko Demi Kepuasan Instan
Sayangnya, banyak pengguna mengabaikan risiko membeli HP bekas demi mendapat sensasi memiliki barang "premium". Risiko seperti tidak adanya garansi, kondisi baterai menurun, hingga potensi kerusakan jangka panjang seringkali dikompromikan.
Ini berkaitan dengan konsep present bias dalam psikologi, di mana seseorang lebih memilih kepuasan sesaat daripada pertimbangan jangka panjang.
Kesimpulan Ngejar Gengsi Atau Kebutuhan?
Fenomena membeli HP flagship bekas oleh konsumen kelas menengah bukan semata keputusan irasional. Di baliknya terdapat berbagai motivasi psikologis, mulai dari gengsi sosial, kepuasan emosional, hingga alasan fungsional yang logis.
Namun, penting juga untuk tetap menimbang risiko dan kebutuhan pribadi, agar keputusan pembelian tidak justru merugikan diri sendiri di masa depan.