OTT Asing Untung Besar, Operator Lokal Tekor: Apjatel Desak Pemerintah Bertindak
Digital, VIVA – Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menepis anggapan bahwa usulan penataan layanan Over-The-Top atau OTT asing, termasuk layanan panggilan suara berbasis internet seperti WhatsApp Call, bertujuan membatasi akses publik.
Apjatel menyatakan usulan ini bukan bentuk pembatasan akses publik, melainkan sebuah desakan kepada pemerintah untuk menegakkan regulasi yang telah ada.
Penjelasan itu pun disampaikan menyusul klarifikasi Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, yang sebelumnya memastikan bahwa pemerintah tidak berencana membatasi layanan WhatsApp Call maupun layanan serupa.
Ketua Umum Apjatel, Jerry Mangasas Swandy, menyebut para penyelenggara jaringan telekomunikasi telah melakukan investasi besar dan berkelanjutan dalam membangun infrastruktur digital di seluruh Indonesia.
Namun, lonjakan trafik data yang signifikan dari berbagai layanan OTT asing belum diimbangi dengan kontribusi yang adil terhadap beban infrastruktur yang mereka tanggung.
"Kami tidak pernah mengusulkan pembatasan layanan, apalagi sampai menghalangi akses publik ke internet. Tujuan utama kami adalah menciptakan keadilan dalam pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi agar keberlanjutan investasi jaringan tetap terjamin di tengah pesatnya pertumbuhan trafik yang didorong oleh OTT asing," katanya, dalam keterangan resmi, Kamis, 24 Juli 2025.
Jerry langsung merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar), khususnya Pasal 15 ayat (6) yang memberikan landasan hukum bagi penyelenggara jaringan untuk melakukan pengelolaan trafik demi menjaga kualitas layanan dan kepentingan nasional.
Ketentuan ini juga diperkuat oleh Pasal 11 dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2021.
"Norma hukumnya sudah jelas. Yang kami harapkan adalah implementasi regulasi yang ada secara konsisten. Jangan sampai para penyelenggara jaringan terus menerus menanggung beban yang berat, yang pada akhirnya dapat mengganggu kualitas layanan yang saat ini dinikmati masyarakat," tegas dia.
Sebagai perbandingan, Jerry menyebut Korea Selatan telah berhasil menerapkan model kontribusi OTT asing melalui amandemen UU bisnis telekomunikasi sejak 2020.
Hasilnya, operator telekomunikasinya berhasil memenangkan gugatan terhadap Netflix sehingga platform tersebut diwajibkan memberikan kontribusi pada operator demi menjaga kapasitas jaringan. Lain halnya dengan di Indonesia, di mana trafik OTT asing kini mendominasi kapasitas jaringan.
Namun, tanpa mekanisme berbagi tanggung jawab yang adil (fair share), hal ini berisiko melemahkan ketahanan dan ketersediaan jaringan di masa depan.
"Apabila pemerintah hanya membiarkan OTT asing mengeksploitasi trafik di Indonesia tanpa ada kontribusi, maka operator telekomunikasi tidak dapat mengimbangi penyediaan kapasitas trafik di Indonesia yang berdampak pada menurunnya kualitas layanan OTT itu sendiri," tuturnya.
Jerry juga menegaskan bahwa isu penataan OTT asing sudah berkali-kali dibahas dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), serta menjadi perhatian Kemenko Polhukam.
"Kami butuh kepastian bahwa pelaku global yang menikmati keuntungan dari infrastruktur Indonesia juga turut menjaga keberlangsungannya. Prinsip same service, same rules perlu ditegakkan," tegas dia.