Penerapan Zero Tolerance Bisa Guncang Operator, Gapasdap Buka Suara
- HR Daily Advisor
Digital, VIVA – Kebijakan zero tolerance, yang berarti tidak ada toleransi sedikit pun terhadap pelanggaran aturan keselamatan, kini menjadi fokus utama dalam pengawasan pelayaran, terutama bagi kapal penumpang dan kapal barang di perairan padat seperti Selat Malaka, Laut Jawa, dan perairan timur Indonesia.
Penerapan kebijakan zero tolerance ini meliputi berbagai aspek, seperti:
- Pemeriksaan dokumen dan kelaiklautan kapal sebelum berlayar.
- Larangan berlayar bagi kapal yang tidak memenuhi syarat keselamatan.
- Penerapan sanksi administratif hingga pidana bagi pelaku pelanggaran.
- Pemantauan ketat terhadap penggunaan alat keselamatan seperti jaket pelampung, radio komunikasi, dan alat deteksi cuaca.
Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (DPP Gapasdap) menegaskan bahwa keselamatan adalah harga mati, tapi tidak gratis.
"Dibutuhkan keberanian pemerintah untuk segera merealisasikan penyesuaian tarif dan penegakkan aturan angkutan ODOL (Over Dimension dan Over Loading) agar kebijakan keselamatan berjalan optimal dan keberlangsungan layanan penyeberangan tetap terjaga," ungkap Ketua Umum DPP Gapasdap, Khoiri Soetomo.
Karena, menurutnya, muatan ODOL menjadi salah satu potensi yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan implementasi kebijakan zero tolerance kecelakaan kapal di perairan Indonesia.
Ia mengaku bahwa selama ini angkutan penyeberangan telah menjalani pemeriksaan yang berlapis atas aturan keselamatan maupun kenyamanan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mulai pada saat pengedokan kapal, pemeriksaan dilakukan oleh BKI dan Marine Inspektor hingga keluar sertifikat kesempurnaan, serta setiap keberangkatan kapal dengan diterbitkannya SPB oleh kantor Kesyahbandaran.
Khoiri juga menyatakan bahwa DPP Gapasdap telah bersurat dengan memberikan beberapa masukan atas terbitnya SE-DJPL 25 Tahun 2025 yang memuat kewajiban deklarasi berlayar, pelatihan penanggulangan musibah, pembatasan jumlah penumpang sesuai kapasitas, larangan penumpang berada di dalam kendaraan selama pelayaran Ro-Ro, dan peningkatan standar pelayanan kapal maupun pelabuhan.
Berdasarkan perhitungan resmi sejak 2019, hingga kini masih terdapat kekurangan tarif sebesar 31,81 persen terhadap HPP, belum termasuk dampak kenaikan biaya operasional akhir-akhir ini dan rendahnya hari operasi kapal akibat keterbatasan jumlah dermaga di beberapa lintas penyeberangan komersial.
“Keselamatan memerlukan investasi — baik untuk perawatan armada, peningkatan fasilitas keselamatan, maupun pelatihan awak kapal. Tanpa penyesuaian tarif, operator akan kesulitan memenuhi kewajiban tersebut,” tegas Khoiri.