Kehadiran AI Bikin Industri Media Berguncang, Wamenkomdigi Buka Suara
- Antara
VIVA Digital – Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menegaskan bahwa perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) membawa dampak besar terhadap industri media.
Menurutnya, kehadiran AI bukan hanya memberi peluang, tetapi juga menghadirkan tantangan serius, mulai dari produksi konten hingga model bisnis media.
Nezar menjelaskan bahwa pada abad ke-21 AI berkembang sangat pesat hingga kini mampu memadukan gambar, audio, dan teks untuk menciptakan video maupun foto yang realistis.
“Kita lihat bagaimana perkembangan teknologi ini mengubah hubungan-hubungan profesional dan hubungan produksi tang ada di dalam korporasi ataupun di dalam industri. Inilah yang mengguncangkan banyak sisi dari masyarakat, termasuk juga jurnalisme," kata Nezar di Jakarta Selatan, Kamis 25 September 2025 dikutip Antara.
Konten Kreator Ramai-ramai Bercanda Soal Neraka Pakai Google Veo 3
- TikTok
Media Ditantang Sosial Media dan AI Generatif
Menurut Nezar, media menghadapi dua tantangan besar di era digital. Pertama datang dari dominasi platform media sosial yang kini menguasai distribusi konten dan audiens.
"Dulu di media cetak ada hubungan emosional yang kuat antara pembaca dan media. Lalu datang platform media sosial yang mengontrol audiens. Sekarang direct traffic ke situs sangat kecil karena rata-rata sebagian besar distribusi konten media lewat platform media sosial," ucap Nezar.
Tantangan kedua adalah munculnya teknologi AI generatif yang bisa memproduksi konten secara otomatis. Bahkan, AI kini mampu menyusun ringkasan hingga naskah berita dari data yang tersedia.
"Hanya reporter yang dibutuhkan (untuk memproduksi berita). Untuk pengolahan data dan lainnya itu bisa dikerjakan oleh generative AI. Platform-platform aplikasi AI bisa mengubah bahan-bahan itu dan menjadi tulisan," ujarnya.
Ancaman Hak Cipta dan Kekacauan Informasi
Nezar menekankan, kehadiran AI generatif memunculkan persoalan serius, salah satunya terkait hak cipta. Sebab, mesin cerdas itu dapat meniru gaya penulisan dari situs-situs berita. Tak hanya itu, fenomena misinformasi juga kian marak karena siapa pun bisa membuat konten berita tanpa jaminan kredibilitas.
"Muncul apa yang kita kenal sebagai information disorder atau kekacauan informasi. Karena apa? Kita tidak tahu lagi mana informasi yang benar atau tidak benar. Apalagi dengan AI, kita tidak tahu apakah ini produk buatan AI atau ini produk yang dibuat oleh manusia," jelasnya.
Media Internasional Mulai Beradaptasi
Wamenkomdigi mencontohkan langkah media global seperti New York Times yang mengubah diri menjadi perusahaan teknologi untuk menghadapi gempuran AI dan dominasi platform sosial media.
"Jadi struktur organisasinya berubah. Konten hanya sub dari tech company karena mereka melawan platform media sosial. Makanya kita kalau cari New York Times di Google, kita cuma dapat ringkasan (berita) kecil saja, selanjutnya kalau Anda mau baca harus berlangganan," ungkap Nezar.
Selain itu, sejumlah media internasional juga mulai membangun koalisi untuk menjaga otentisitas karya jurnalistik dan membedakan konten yang dihasilkan jurnalis dengan yang diproduksi sepenuhnya oleh AI. Para penerbit pun sepakat untuk mencegah mesin AI mengambil data dari situs berita mereka.
Jurnalisme Tetap Punya Keunggulan
Meski begitu, Nezar menegaskan bahwa jurnalisme tetap memiliki keunggulan yang tak tergantikan, yaitu disiplin verifikasi.
“Disiplin verifikasi ini yang paling penting dan hanya para profesional yang mendedikasikan dirinya untuk mencari akurasi, kebenaran dalam laporan yang bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh,” tegasnya.
Lebih lanjut, pemerintah menurutnya sudah menyiapkan peta jalan nasional AI yang diharapkan dapat mendorong pemanfaatan teknologi secara etis dan bertanggung jawab.
"Kita berharap industri media bisa adaptif dengan perubahan-perubahan yang terjadi ini," pungkas Nezar. (Ant)