Indonesia Terancam ‘Perang Tanpa Peluru’
- Istimewa
Digital – Pakar psikologi siber internasional, Profesor Mary Aiken mengatakan, Indonesia kini menghadapi ancaman serius yang bisa melumpuhkan negara tanpa perlu tembakan peluru. Menurutnya, ancaman tersebut meupakan serangan digital.
Peringatan ini disampaikan Mary di sela Global Cybersecurity Forum 2025 di Riyadh, Arab Saudi, pada 1 Oktober 2025. Menurutnya, serangan siber bersifat lintas batas dan bisa menyasar siapa saja, termasuk Indonesia.
“Ransomware atau malware bisa dimulai dari satu titik, lalu menyebar cepat ke negara lain. Untuk Indonesia, penting berinvestasi dalam kebersihan siber—mulai dari pemerintah, infrastruktur vital, hingga masyarakat biasa,” ujar Mary dalam keterangan resminya.
Ponsel Jadi Pintu Masuk Serangan
Ancaman siber tidak lagi terbatas pada lembaga besar atau pemerintahan. Ponsel pribadi, aplikasi belanja, hingga akun sekolah daring anak-anak kini juga bisa menjadi celah serangan.
Mary menegaskan bahwa kesiapan menghadapi ancaman digital harus dimulai sejak dini.
Sebagai informasi, Indonesia sendiri sudah beberapa kali mengalami kebocoran data. Dari data pelanggan operator seluler, marketplace, hingga layanan publik, sebagian besar pernah beredar di dark web dan diperjualbelikan. Kasus ini menjadi alarm keras betapa rapuhnya keamanan digital di tanah air.
Lebih lanjut, selain serangan teknis, Mary juga menyoroti ancaman lain yang tak kalah berbahaya, yakni disinformasi.
“Kesalahpahaman tumbuh subur di tempat dengan kepercayaan rendah dan literasi digital lemah. Disinformasi adalah senjata berbahaya. Indonesia harus menjaga sistem digital sekaligus kepercayaan publik,” jelasnya.
Di Indonesia, hoaks dan berita palsu sering menyebar jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi. Situasi ini berisiko menggerogoti demokrasi, merusak kepercayaan antarwarga, bahkan memicu konflik sosial.
Menurutnya, posisi Indonesia yang besar dan berada di jantung Asia Tenggara menjadikannya target empuk operasi pengaruh global.
“Besaran, demokrasi, dan sentralitas Indonesia menjadikannya target yang sangat menarik,” kata Mary.
Karena itu, kata diai, Indonesia perlu memperkuat standar keamanan digital, membangun sistem pelaporan serangan yang tanggap, dan menggandeng sektor swasta sebagai mitra strategis.
Mary mencontohkan pengalaman Eropa dalam melawan serangan siber. Menurutnya, perlawanan tidak hanya soal teknologi, tetapi juga transparansi, kerja sama, dan kepercayaan publik.
Mary juga menekankan pentingnya diplomasi siber di era geopolitik modern. Indonesia, dengan posisinya yang strategis, berpeluang menjadi pemimpin kawasan Asia Tenggara dalam merumuskan norma global terkait privasi, data, dan kejahatan digital.
Terakhir, ia menekankan bahwa serangan siber bukan ancaman main-main. “Mereka bisa menghentikan ekonomi, mematikan layanan kritis, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat,” katanya.