Sakura School Simulator dalam Perspektif Psikolog: Cerminan Dunia Remaja di Era Digital?

Sakura School Simulator
Sumber :
  • Instagram

Digital, VIVASakura School Simulator bukan lagi sekadar game kasual yang dimainkan untuk hiburan semata. Game ini memberi kebebasan penuh bagi pemain untuk membentuk hidup impian mereka, mulai dari menjadi pelajar, membangun rumah, menjalin hubungan asmara, hingga menciptakan dunia sosial sendiri.

Seru! Begini Cara Mengendarai Delman di Sakura School Simulator

 

Menariknya, para pakar psikologi dan komunikasi digital dari luar negeri menilai bahwa game semacam ini bisa menjadi jendela untuk memahami dunia batin remaja masa kini yang hidup di tengah tekanan sosial dan dominasi budaya digital.

Lagi Viral! Ini Cara ke Toko Boneka Labubu di Sakura School Simulator, Bisa Jadi Spot Foto Favorit

 

1. Pelarian dari Dunia Nyata yang Penuh Tekanan

Terungkap! Begini Cara Main ke Istana Elsa Frozen di Sakura School Simulator

Remaja sering kali merasa kehilangan kendali dalam hidup mereka akibat tekanan sekolah, keluarga, maupun pergaulan. Itulah mengapa banyak dari mereka tertarik pada dunia virtual yang memberi kebebasan mutlak.

Sakura School Simulator

Photo :
  • -

 

Psikolog remaja dari Amerika Serikat, Dr. Carl Pickhardt, menyebut bahwa dunia simulasi memberi rasa aman bagi remaja untuk mengeksplorasi hidup tanpa takut dihakimi.

Menurutnya, remaja menggunakan dunia virtual karena mereka bisa mengontrol segalanya, menyembunyikan identitas jika perlu, dan merasa bebas menjalani hidup sesuai keinginan mereka.

 

2. Sarana Menjelajahi Identitas Diri

Fitur utama Sakura School Simulator adalah kemampuan untuk mengatur karakter, latar tempat, hingga alur cerita. Hal ini membuka ruang bagi pemain, terutama remaja untuk bereksperimen dengan berbagai versi diri mereka.

 

Psikolog perkembangan remaja, Dr. Rachel Simmons, menjelaskan bahwa menjajal berbagai peran sosial di dunia simulasi justru menjadi bagian dari proses pembentukan identitas yang sehat.

Remaja bisa menjadi orang yang pendiam, populer, pemberani, atau bahkan rebel, tanpa menghadapi konsekuensi nyata seperti di dunia offline.

 

3. Antara Kreativitas dan Risiko Konten

Kebebasan yang luas dalam game ini tentu mendorong kreativitas. Tak sedikit pemain yang membuat konten cerita penuh makna, membangun dunia versi mereka, atau bahkan mengangkat nilai-nilai budaya lokal.

 

Namun, psikolog dari American Academy of Pediatrics mengingatkan, jika tidak ada pendampingan, anak bisa dengan mudah terpapar konten yang tidak sesuai usia.

Konten kekerasan, hubungan asmara berlebihan, atau bahkan nuansa seksual bisa mengaburkan pemahaman remaja tentang batas norma sosial.

 

4. Cermin Budaya dan Kritik Sosial di Dunia Digital

Meski setting game ini berlatar Jepang, banyak pemain Indonesia yang memodifikasinya dengan unsur budaya lokal. Ada yang membuat sekolah islami, rumah adat, bahkan perayaan Lebaran.

 

Sosiolog digital asal Inggris, Dr. Tanya Byron, menyebut bahwa remaja secara tidak sadar mencerminkan kehidupan nyata mereka ke dalam dunia game.
Menurutnya, apa yang diciptakan remaja di dunia virtual sering kali merupakan pantulan dari hal-hal yang mereka alami, impikan, atau pertanyakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

5. Bukan Dilarang, Tapi Didampingi

Pakar perilaku digital dari Harvard Medical School, Dr. Cheryl Olson, menyarankan agar orang tua ikut memahami game yang dimainkan anak mereka.
Daripada melarang, lebih baik orang tua ikut bermain atau minimal berdiskusi tentang isi gamenya.

 

Dengan begitu, game seperti Sakura School Simulator bisa menjadi alat bantu untuk memahami cara berpikir, perasaan, dan dinamika sosial yang sedang dihadapi anak remaja.

 

Sakura School Simulator mungkin terlihat seperti game imut yang penuh warna. Tapi di baliknya, tersimpan dunia kompleks yang mencerminkan tekanan, pencarian jati diri, dan imajinasi para remaja masa kini. Dengan pendekatan yang tepat, game ini justru bisa menjadi jembatan untuk memahami generasi muda, bukan hanya menghibur mereka.