Di Balik Serangan Israel ke Iran: Teknologi Fasilitas Nuklir yang Jadi Target Utama
- ASSOCIATED PRESS
Digital, VIVA – Serangan udara yang diluncurkan Israel terhadap Iran pada Jumat, 13 Juni 2025, bukan sekadar aksi militer, melainkan menyoroti betapa canggih dan strategisnya fasilitas nuklir yang dibangun Iran selama puluhan tahun.
Di tengah ketegangan geopolitik yang semakin panas, teknologi yang menopang program nuklir Iran menjadi sorotan utama dunia.
Berdasarkan video yang telah diverifikasi oleh BBC, setidaknya lima titik serangan terekam, dengan dampak kerusakan yang cukup besar. Mayoritas target terletak di sekitar Teheran dan wilayah lain yang menjadi pusat teknologi pengayaan uranium dan riset nuklir.
Serangan ini membuka kembali perhatian dunia terhadap infrastruktur nuklir Iran yang selama ini dianggap tertutup dan sulit diakses oleh pengawas internasional.
Berikut ini adalah penjabaran fasilitas-fasilitas utama yang menjadi tulang punggung program nuklir Iran, lengkap dengan teknologi canggih yang digunakan.
Natanz: Pusat Sentrifugal di Perut Bumi
Fasilitas Natanz menjadi target utama serangan Israel. Terletak 225 km di selatan Teheran, lokasi ini dikenal sebagai pusat pengayaan uranium terbesar di Iran.
Teknologinya mencakup ribuan sentrifus generasi lama hingga yang paling mutakhir, digunakan untuk memisahkan isotop uranium melalui proses gas uranium heksafluorida.
Bangunan utama terletak di bawah tanah, dengan desain tahan serangan udara. Menurut laporan IAEA, kompleks ini memiliki tiga bangunan bawah tanah besar yang dirancang untuk menampung hingga 50.000 sentrifus.
Dalam konteks rekayasa dan pertahanan fasilitas, struktur ini termasuk yang paling kompleks dan canggih di dunia.
Fordow: Bunker Nuklir Anti-Serangan Udara
Berbeda dengan Natanz, Fordow terletak di dalam pegunungan dekat kota Qom. Dirancang dengan keamanan berlapis, fasilitas ini hampir mustahil ditembus lewat serangan konvensional.
Dengan sekitar 3.000 sentrifus, Fordow menjadi simbol dari kekuatan pertahanan pasif teknologi nuklir Iran.
Setelah JCPOA diteken pada 2015, Iran sempat menghentikan pengayaan di Fordow. Namun, sejak Amerika Serikat keluar dari kesepakatan pada 2018, Iran kembali mengaktifkan pengayaan hingga 60 persen, angka yang nyaris menyentuh ambang senjata nuklir.
Reaktor Air Berat Arak: Potensi Plutonium dan Rekayasa Ulang
Terletak di Kandab, Provinsi Markazi, reaktor air berat Arak sempat memicu kekhawatiran karena kemampuannya menghasilkan plutonium. Namun, melalui JCPOA, reaktor ini direkayasa ulang agar hanya menghasilkan plutonium dalam jumlah kecil, cukup untuk riset medis.
Secara teknologi, langkah ini merepresentasikan rekayasa ulang skala besar terhadap fasilitas nuklir, mencerminkan bagaimana tekanan internasional dapat membentuk desain ulang sistem reaktor agar sesuai standar non-proliferasi.
Isfahan: Penghubung Semua Rantai Produksi
Fasilitas nuklir di Isfahan menjadi titik penting dalam siklus nuklir Iran. Di sinilah uranium dikonversi menjadi uranium heksafluorida (UF6), bahan utama yang digunakan di sentrifus Natanz dan Fordow. Lokasi ini juga menjadi tempat produksi bahan bakar reaktor, termasuk untuk pembangkit listrik nuklir Bushehr.
Teknologi di Isfahan merepresentasikan kemampuan Iran untuk mengelola rantai pasokan nuklir dari hulu hingga hilir, termasuk potensi produksi logam uranium yang menimbulkan kekhawatiran karena aplikasinya yang sensitif.
Pembangkit Bushehr: Teknologi Sipil tapi Berisiko
Bushehr adalah satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir Iran yang beroperasi secara penuh. Dibangun dengan kerja sama Jerman dan kemudian diselesaikan oleh Rusia, pembangkit ini berfungsi dengan sistem tertutup, uranium didatangkan dari Rusia dan limbahnya dikembalikan untuk mencegah penyalahgunaan.
Meski statusnya sipil, secara teknologi pembangkit ini tetap menyimpan risiko. Lokasinya berada di zona rawan gempa, sementara pengawasan penuh tetap diperlukan untuk memastikan standar keselamatan nuklir terpenuhi.
Reaktor Riset Teheran: Dari Medis Menuju Ketegangan
Didirikan sejak 1967, Reaktor Riset Teheran menjadi fondasi awal program nuklir Iran. Meski berorientasi pada riset medis, keterbatasan pasokan bahan bakar membuat Iran memperkaya uranium sendiri hingga 20% pada 2009. Sejak 2012, Iran bahkan memproduksi batang bahan bakar lokal.
Reaktor ini mencerminkan transisi antara teknologi sipil ke kemampuan nuklir nasional, yang semakin mendekati otonomi penuh dalam pengelolaan riset nuklir.
Kompleks Militer Parchin: Riset Senyap yang Sarat Kecurigaan
Parchin mungkin bukan fasilitas nuklir dalam arti klasik, tapi kompleks militer ini dicurigai menjadi tempat eksperimen bahan peledak konvensional yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir. Lokasinya sangat tertutup, dan akses IAEA sangat terbatas.
Pada 2022, ledakan misterius menewaskan seorang insinyur di sini. Banyak pihak menduga ada eksperimen berteknologi tinggi yang dilakukan secara diam-diam di Parchin, memperkuat asumsi tentang dual-use technology (penggunaan ganda sipil dan militer).
Teknologi Canggih Tapi Sarat Ketegangan
Seluruh fasilitas di atas menunjukkan bahwa Iran telah membangun ekosistem teknologi nuklir yang mandiri dan canggih. Dari konversi bahan mentah, pengayaan uranium, hingga produksi bahan bakar dan riset medis, Iran telah mencapai tingkat kedewasaan teknologi yang signifikan.
Namun, semua pencapaian tersebut dibayangi oleh keterbatasan transparansi dan kekhawatiran global soal potensi militerisasi.
Serangan Israel pada Juni 2025 hanya menegaskan satu hal, isu nuklir Iran bukan sekadar soal energi atau teknologi, tetapi juga menyangkut keamanan regional dan global.
Ke depan, dunia akan terus menyoroti seberapa jauh teknologi ini akan digunakan untuk tujuan damai, atau sebaliknya.