Cyberwar dan Selat Hormuz: Ancaman Perang Digital di Jalur Minyak Dunia
- myedisi.com
Digital, VIVA – Di balik kemilau rig minyak dan lalu lintas kapal tanker raksasa, Selat Hormuz menyimpan potensi bahaya yang lebih sunyi namun tak kalah mematikan, yakni perang siber.
Jalur sempit yang memfasilitasi sepertiga perdagangan minyak dunia ini bukan hanya medan tarik ulur militer, tapi juga arena baru konflik digital yang bisa melumpuhkan ekonomi global hanya lewat satu serangan sistem.
Navigasi Kapal dan Sistem Minyak Kini Tergantung Digital
Modernisasi industri energi telah menciptakan ketergantungan tinggi pada sistem digital, mulai dari navigasi kapal (GPS dan AIS), sistem kontrol pelabuhan, hingga infrastruktur SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) yang mengatur kilang minyak dan pipa bawah laut.
Artinya, serangan siber yang menarget sistem ini bisa menghentikan ekspor minyak, menyesatkan rute kapal, atau bahkan menimbulkan ledakan jika sistem keamanan kilang dikacaukan.
Selat Hormuz
- Maritimeducation
Laporan dari IBM Security dan Mandiant mengungkap bahwa sektor energi adalah salah satu target utama dalam 20 besar serangan siber global selama lima tahun terakhir.
Ancaman itu makin serius di kawasan Teluk, termasuk Selat Hormuz yang diperebutkan Iran, Arab Saudi, UEA, dan menjadi pusat perhatian AS serta sekutu barat.
Iran dan Serangan Balasan Digital
Iran dikenal memiliki kemampuan siber yang signifikan. Kelompok peretas seperti APT33, APT34 (OilRig), dan Charming Kitten kerap dikaitkan dengan aktivitas spionase dan sabotase terhadap industri energi negara-negara Teluk.
Serangan Shamoon ke sistem Aramco pada 2012, yang menghapus data di 30 ribu komputer, jadi bukti nyata kekuatan destruktif dunia maya dalam konflik geopolitik.
Sebagai respons, banyak negara Teluk menggandeng perusahaan keamanan siber global seperti Palo Alto Networks, CrowdStrike, dan Check Point untuk membangun pertahanan digital berlapis. Beberapa bahkan mengembangkan SOC (Security Operation Center) milik negara guna memantau ancaman secara real time.
Kapal Tanker pun Bisa Jadi Target Siber
Tak hanya kilang, kapal tanker raksasa yang melintas Selat Hormuz juga sangat rentan. Sistem navigasi otomatis seperti GPS, radar, dan Electronic Chart Display bisa disabotase untuk menyebabkan tabrakan atau membuat kapal menyimpang ke perairan musuh.
Dalam skenario ekstrem, hacker bisa “menghilangkan” keberadaan kapal dari radar dengan spoofing AIS, teknik manipulasi data posisi kapal di jaringan global.
Pada 2021, misalnya, insiden misterius yang dialami kapal tanker berbendera Liberia di Teluk Oman sempat memicu dugaan serangan siber. Meskipun tidak dikonfirmasi secara resmi, beberapa analis menyebut pola pergerakan kapal seperti “dipalsukan” atau diubah secara paksa.
AS, NATO, dan Operasi Pertahanan Digital di Teluk
Amerika Serikat sebagai pelindung lalu lintas energi global, khususnya melalui Armada Kelima di Bahrain, juga semakin fokus pada perang siber di kawasan Teluk. Pentagon bahkan menjadikan Selat Hormuz sebagai bagian dari "Cyber Command Interest Zone", dan memperkuat pertahanan digital lewat latihan bersama NATO dan negara-negara GCC.
Operasi Sentinel, yang diluncurkan untuk menjaga kebebasan navigasi di Selat Hormuz, kini juga memiliki komponen siber untuk mengawasi jaringan dan aktivitas digital yang mencurigakan di sekitar pelabuhan dan rute tanker.
Perang Minyak Kini Menyusup Lewat Jalur Digital
Dunia saat ini menghadapi wajah baru dari ancaman energi, cyberwarfare. Jika dulu blokade dilakukan lewat ranjau laut atau kapal perang, kini cukup dengan satu skrip malware untuk menghentikan aliran minyak global.
Selat Hormuz, sebagai nadi energi dunia, bukan hanya butuh pengawalan militer, tapi juga pertahanan siber yang kuat dan adaptif menghadapi ancaman tak kasatmata.