Ancaman Deepfake: Bagaimana Kita Bisa Membedakan Realita dan Manipulasi Digital

Konten Kreator Ramai-ramai Bercanda Soal Neraka Pakai Google Veo 3
Sumber :
  • TikTok

Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, ia menyebutkan bahwa rentang hasil deteksi bisa sangat beragam, mulai dari hampir nol persen hingga seratus persen, sehingga tidak bisa dijadikan patokan tunggal.

HashMicro Hadirkan Asisten AI Berbasis Qwen

"Saya pikir gambaran palsu tentang reliabilitas lebih berbahaya daripada reliabilitas rendah," ujarnya dikutip The Guardian.

Pakar lain, Hany Farid dari University of California Berkeley, menegaskan bahwa deteksi deepfake tidak bisa hanya mengandalkan algoritma. Dalam wawancaranya dengan Wired, ia menekankan perlunya kombinasi antara alat forensik dan analisis manual.

Mengungkap Keunggulan Grok, AI yang Bikin Ketagihan!

"Siapa pun yang mengatakan solusinya cukup dengan melatih model AI adalah orang bodoh atau pembohong," kata Farid. Ia mengingatkan bahwa ini adalah perlombaan teknologi, di mana setiap detektor baru kemungkinan akan segera dikalahkan oleh generasi deepfake berikutnya.

V S Subrahmanian, profesor kecerdasan buatan dan keamanan dari Northwestern University, menawarkan panduan yang lebih praktis. Ia menilai ada beberapa indikator visual yang dapat diperhatikan, mulai dari gerakan bibir yang tidak sinkron, pencahayaan yang aneh, hingga detail wajah yang terlihat tidak wajar.

ChatGPT Bisa Tahu Identitas dan Karakter Penggunanya, Begini Cara Ceknya

Peneliti MIT melalui proyek Detect Fakes juga menyoroti delapan tanda fisik yang bisa menjadi acuan, seperti tekstur kulit, kedipan mata yang tidak normal, dan refleksi cahaya pada kacamata.

Namun, kemampuan publik dalam mengenali deepfake masih sangat terbatas. Sebuah studi dari iProov pada 2025 menunjukkan bahwa dari ribuan responden di Amerika Serikat dan Inggris, hanya 0,1 persen yang mampu membedakan konten asli dan deepfake dengan akurasi sempurna.

Halaman Selanjutnya
img_title