AI vs Teknologi Siluman, Siapa yang Angkat Tangan

Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Sumber :
  • AI Time Journal

Digital, VIVA - Perang psikologis sering kali melibatkan upaya menunjukkan keunggulan teknologi sambil membuat lawan merasa tidak berdaya.

GPT-5 Uji Coba: AI OpenAI Disebut Sudah Setara Profesional Manusia, Ancaman atau Peluang?

Inilah konteks yang mungkin tepat untuk melihat studi baru tentang sistem peperangan anti-kapal selam (ASW) berbasis kecerdasan buatan (AI) dari China yang diklaim mampu mendeteksi 95 persen kapal selam bahkan yang paling sulit dideteksi sekali pun.

Menguitp South China Morning Post via DW, Minggu, 28 September 2025, membahas studi yang diterbitkan Agustus 2025 oleh jurnal Electronics Optics and Control.

Donald Trump Bongkar TikTok, Xi Jinping Diam-diam Setuju?

Penelitian tersebut mengumumkan bahwa China Helicopter Research and Development Institute berhasil mengembangkan sistem AI yang bisa menganalisis data dari berbagai sumber secara bersamaan.

Mulai dari pelampung sonar, mikrofon bawah air, hingga data suhu dan kadar garam air laut, sistem ini dikabarkan mampu membuat peta dinamis lingkungan bawah laut secara real-time.

GeForce RTX 50 Series: Senjata Baru Cetak Talenta Digital

Di bawah kepemimpinan insinyur kepala Meng Hao, sistem ini disebut mampu merespons taktik pengelabuan lawan, seperti manuver zig-zag, penggunaan umpan, atau drone.

Dalam simulasi komputer, tingkat keberhasilan mendeteksi target mencapai 95 persen, sehingga bisa mengancam metode kamuflase dan pertahanan kapal selam yang selama ini dianggap ampuh.

Terobosan lain adalah kemampuan AI untuk menerjemahkan data kompleks menjadi langkah-langkah sederhana bagi personel militer sehingga mereka bisa mengambil keputusan dengan cepat bahkan dalam situasi penuh tekanan.

Di versi mendatang, tim pengembang berharap AI ini bisa bekerja sama dengan drone, kapal permukaan, dan robot bawah laut otonom.

Tujuannya adalah menciptakan jaringan deteksi tiga dimensi yang bisa belajar sendiri, beradaptasi dengan strategi pengelakan yang makin canggih, dan memantau lautan secara real-time.

Jika target itu tercapai, strategi pertahanan global bisa sangat terganggu. Tiga pilar penangkal nuklir, yang dikenal sebagai nuclear triad (rudal balistik antarbenua berbasis darat, pembom strategis, dan rudal balistik dari kapal selam), bisa kehilangan efektivitasnya.

Sistem-sistem ini dirancang untuk mencegah serangan nuklir pertama dari lawan karena menjamin adanya serangan balasan yang pasti.

Armada laut yang selama ini mengandalkan taktik “petak umpet” kapal selam bertenaga nuklir akan menghadapi ketidakpastian jika kemampuan kapal selam mereka terancam.

Meski begitu, isu militer juga selalu dimainkan di ranah psikologis. Publikasi riset semacam ini bisa jadi cara China menegaskan keunggulan strategisnya.

Pada saat yang sama, China juga terus menunjukkan kehadirannya di perairan strategis seperti Selat Taiwan serta Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Menguasai Taiwan akan sangat penting bagi armada kapal selam China karena selama ini mereka harus beroperasi dari perairan dangkal di sekitar Pangkalan Yulin dan Yalong di Pulau Hainan, yang mudah dideteksi sensor dan sistem pengintaian lawan.

Jika China bisa menguasai akses ke Samudra Pasifik melalui Taiwan dan gugusan pulau di sekitarnya, kapal selam mereka akan mendapat akses langsung ke perairan dalam sehingga bisa digunakan sebagai penangkal nuklir yang lebih kredibel.

Inilah alasan China terus memperkuat armada lautnya dalam beberapa tahun terakhir, melengkapi wilayah laut strategis dengan radar, sonar, dan rantai pelampung, serta mengintimidasi negara tetangga lewat latihan militer besar-besaran.

Meski China menunjukkan kemajuan pesat di bidang AI, para ahli militer Barat meragukan sistem deteksi kapal selam baru ini benar-benar menjadi ancaman langsung bagi strategi pertahanan global.

Profesor Paul S. Schmitt, pakar strategi dan operasi angkatan laut dari Amerika Serikat (AS), mengatakan kepada DW bahwa AI memang berpotensi untuk meningkatkan perburuan kapal selam dengan mengolah banyak data sensor.

Namun, penerapannya di lapangan tetap sulit karena kondisi bawah laut sangat kompleks.

Menurut Schmitt, ide jaringan deteksi yang sepenuhnya dikendalikan AI masih terdengar optimistis, mengingat perlombaan antara teknologi kapal selam dan teknologi pendeteksi selalu berlangsung ketat.

Pakar keamanan Jerman juga menyatakan bahwa dinamika persenjataan maritim selalu seperti permainan kucing dan tikus dengan hasil yang tidak pasti.

Saat ini, China memiliki 105 kapal selam, terbanyak di dunia, disusul Korea Utara (90), Amerika Serikat (74), dan Rusia (62).

Namun, kapal selam modern bertenaga nuklir yang dilengkapi rudal balistik (SSBN) sangat penting dalam persaingan strategis.

AS masih unggul dengan sekitar 14 SSBN kelas Ohio dan lebih dari 50 kapal selam serang modern. Rusia punya sekitar 16 SSBN plus berbagai kapal selam nuklir lain.

China memperluas armadanya dengan sedikitnya enam SSBN kelas Jin dan satu kelas Xia, serta tipe baru lainnya.

Inggris dan Prancis masing-masing mengandalkan empat SSBN (kelas Vanguard dan Triomphant), ditambah kapal selam serang bertenaga nuklir.

Jerman unggul dalam teknologi konvensional diesel-listrik, tapi tidak punya armada nuklir.

Beberapa anggota NATO lain seperti Italia, Spanyol, Norwegia, Swedia, Belanda, Kanada, dan Turki juga masih menggunakan teknologi konvensional.

Di luar NATO, India dengan kelas Arihant dan Israel dengan kelas Dolphin menambah kompleksitas peta kekuatan bawah laut global.