Bahaya Terlalu Bergantung pada AI, Ini Kata Pakar Digital

AI DeepSeek, Gemini, ChatGPT dan Grok
Sumber :

Digital, VIVA – Kecerdasan buatan (AI) memang telah membawa banyak kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari menulis artikel, membuat desain, menganalisis data, hingga menjawab pertanyaan teknis dalam hitungan detik.

Hidupmu Berantakan? Ini Prompt ChatGPT yang Bikin Rutinitas Jadi Rapi

Namun, di balik semua kemudahan itu, muncul kekhawatiran baru, yaitu terlalu bergantung pada AI justru bisa menimbulkan bahaya yang tak terlihat.

 

ChatGPT Voice Bisa Bantu Tidur Lebih Nyenyak dan Redakan Stres, Begini Cara Kerjanya

Beberapa pakar digital dan teknologi global mengingatkan bahwa penggunaan AI yang berlebihan dapat mengikis keterampilan manusia, menurunkan kreativitas, bahkan memperburuk bias informasi.

 

1. Kehilangan Kemampuan Berpikir Kritis

LG OLED evo G5 dan C5 bikin Layar Biasa Terlihat Kuno

 

Profesor Gary Marcus, seorang ilmuwan AI dari New York University, dalam wawancaranya dengan The Verge, menyebutkan bahwa ketergantungan berlebihan pada AI bisa menumpulkan daya pikir manusia.

"AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti nalar manusia. Kalau semua keputusan diserahkan ke AI, kita kehilangan refleksi, intuisi, dan proses belajar," ujar Gary.

 

Hal ini terlihat jelas ketika pelajar atau mahasiswa mulai menggunakan AI untuk mengerjakan tugas atau membuat skripsi tanpa pemahaman mendalam.

 

2. Kreativitas Bisa Tergerus

 

AI memang bisa menciptakan puisi, lukisan, bahkan lagu. Namun menurut Dr. Kate Crawford, peneliti senior di Microsoft Research, AI tidak benar-benar berkreativitas—ia hanya mengolah data berdasarkan pola yang sudah ada.

“Kreativitas manusia lahir dari pengalaman hidup, emosi, dan intuisi—hal-hal yang tidak dimiliki oleh algoritma,” kata Crawford dalam bukunya Atlas of AI.

 

Ketika kita terlalu sering menyerahkan tugas kreatif ke AI, otak kita bisa kehilangan kebiasaan eksplorasi dan inovasi.

 

3. Risiko Disinformasi dan Bias

 

AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, atau Grok dapat menjawab berbagai pertanyaan dengan sangat meyakinkan. Tapi, menurut studi dari MIT (2024), sekitar 20% jawaban AI bisa berisi informasi yang tidak akurat atau bias.

 

Dalam laporan The Guardian, beberapa AI bahkan menolak membahas isu tertentu, tergantung pada asal negaranya seperti DeepSeek dari China yang menghindari topik Tiananmen atau Xi Jinping.

Ini menunjukkan bahwa sistem AI tidak netral, dan bisa dikendalikan oleh agenda politik atau komersial.

 

4. Ketimpangan dan Ketergantungan Sosial

 

Pakar dari World Economic Forum (WEF) memperingatkan bahwa masyarakat dengan akses terbatas terhadap teknologi AI bisa semakin tertinggal. Sementara mereka yang mampu mengoptimalkan AI bisa melesat lebih cepat membentuk ketimpangan digital yang makin tajam.

 

Selain itu, penggunaan AI dalam bidang layanan pelanggan, HRD, hingga jurnalisme otomatis, bisa membuat banyak pekerjaan manusia tergeser, menciptakan kecemasan sosial yang baru.

 

 

5. Etika dan Privasi Jadi Taruhan

 

AI belajar dari data, dan data sering kali bersifat pribadi. Kasus kebocoran data di berbagai platform AI, termasuk yang dialami oleh ChatGPT pada 2023 membuktikan bahwa privasi pengguna masih rawan.

 

Pakar keamanan siber, Bruce Schneier, menyatakan bahwa perusahaan AI harus lebih transparan soal bagaimana data pengguna digunakan.

"Kalau kita tidak tahu bagaimana AI mengambil keputusan, kita tidak bisa mengontrol dampaknya," tegas Schneier.

 

Solusi: Bijak Gunakan, Jangan Tergantung

 

AI memang alat yang luar biasa, tapi para ahli sepakat: gunakan AI sebagai asisten, bukan pengganti. Tetap latih kemampuan berpikir, biasakan mencari informasi dari berbagai sumber, dan jangan ragu untuk mengandalkan insting serta nalar pribadi.

 

"AI adalah masa depan, tapi masa depan yang tetap membutuhkan manusia berpikir," kata Prof. Marcus menutup.